![]() |
Ilustrasi efisiensi anggaran pendidikan di Indonesia. (Foto: Istimewa) |
Banyuwangi Terkini - Rencana pemotongan anggaran pendidikan 2025 semakin menguat, menimbulkan keresahan di tengah visi Indonesia Emas 2045. Pemerintah berdalih bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi efisiensi fiskal, tetapi pakar pendidikan menilai kebijakan ini bisa berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan.
Pakar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga, Prof. Dr. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si, menegaskan bahwa pemangkasan anggaran tidak boleh menyentuh sektor strategis, seperti infrastruktur pendidikan dan pengembangan tenaga pengajar.
"Kalau pemeliharaan atau peningkatan sarana belajar dipotong, itu sangat berbahaya. Fasilitas sekolah yang rusak, laboratorium tidak memadai, keterbatasan akses fasilitas belajar semuanya berujung pada penurunan kualitas pendidikan," ujar Prof. Tuti dalam keterangannya, Kamis (20 Februari 2025).
Tak hanya itu, pemotongan dana juga dapat menghambat program peningkatan kompetensi guru. Padahal, kualitas tenaga pendidik adalah pilar utama dalam peningkatan mutu pendidikan.
"Pemangkasan untuk pelatihan guru harus dipertimbangkan matang. Jika ada efisiensi, jangan sampai program utama yang mendukung kompetensi pendidik justru dikorbankan," tambahnya.
Dampak pemangkasan anggaran pendidikan tidak hanya dirasakan oleh sekolah dan tenaga pendidik, tetapi juga siswa. Beasiswa dan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang selama ini menjadi penopang bagi siswa kurang mampu kini berada dalam ketidakpastian.
"Masyarakat dan mahasiswa gelisah karena informasi simpang siur. Pemerintah harus segera memberikan kepastian agar tidak menimbulkan keresahan lebih dalam," tegas Prof. Tuti.
Jika tidak dikelola dengan baik, pemotongan anggaran ini bisa berujung pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"Jika pendidikan dianggap sekadar program pendukung, bukan prioritas, trust issue akan semakin dalam. Padahal, negara maju selalu menjadikan pendidikan sebagai pilar utama," katanya.
Di sisi lain, Prof. Tuti mengakui bahwa efisiensi anggaran bisa menjadi momentum untuk menertibkan penggunaan dana pendidikan yang selama ini kerap dipertanyakan transparansinya.
"Banyak anggaran dihambur-hamburkan dengan tujuan yang tidak jelas. Jika efisiensi ini dilakukan dengan kontrol ketat dan transparan, justru bisa meningkatkan akuntabilitas," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh menyentuh aspek fundamental yang menentukan kualitas pendidikan.
"Program literasi, penguatan kapasitas guru, kesejahteraan tenaga pendidik, semua harus tetap menjadi prioritas. Jika efisiensi dilakukan sembrono, dampaknya panjang terhadap kualitas SDM Indonesia di masa depan," tegasnya.
Sebagai solusi, Prof. Tuti menyarankan agar penghematan anggaran dilakukan berbasis data dan audit menyeluruh.
"Harus dipastikan, sektor yang dipangkas memang bukan yang esensial. Kalau menyangkut mutu pendidikan, sebaiknya jangan dipotong. Justru harus diperkuat," katanya.
Menurutnya, pendidikan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang membangun generasi yang cerdas, kritis, dan siap menghadapi tantangan global. Oleh karena itu, setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap sistem pendidikan nasional.
Pemotongan anggaran pendidikan 2025 bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga cerminan komitmen pemerintah terhadap kualitas SDM Indonesia. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi cita-cita Indonesia Emas 2045.
Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak mengorbankan sektor pendidikan yang krusial. Sebab, pendidikan bukan sekadar pengeluaran negara, tetapi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa.***